Rabu, 26 Agustus 2009

1- PENGALAMAN KURANG MENYENANGKAN

Kita awali dulu Blog "Praktik APLIKASI STATISTIKA: Perlu Penguatan?" ini dengan Post 1. Baca 'embarassing' atau apologi berikut.
Banyak orang pernah mendapat pengalaman kurang menyenangkan sewaktu belajar/mengajar statistika. Mereka ada yang merasa kurang memperoleh manfaat dari matakuliah itu sehingga kurang berminat untuk mendalaminya lebih lanjut. Ada pula yang merasa bahwa matakuliah statistika itu kurang relevan dengan bidang ilmu pengetahuannya, kurang menarik, kering dan penuh dengan rumus-rumus memusingkan.
Situasi tadi dapat berlanjut pada penggunaan statistika untuk penelitian, yang tidak sedikit mengandung kesan dogmatis, mekanistis, kurang mengelanakan ‘akal sehat’ sendiri dan keliru-guna (misuse) atau ‘liwar-guna’ (abuse), yaitu melampaui hak penerapan statistika.
Kesukaran dan kebingungan pengguna dalam memahami statistika di antaranya bersumber dari adanya kenyataan bahwa dalam statistika sendiri terdapat cukup banyak istilah yang terkesan kurang konsisten lagi sukar segera dicari padanannya dengan istilah dalam bidang ilmu penerap, lambang-lambang yang belum banyak terbakukan seperti dalam ilmu fisika dan kimia, lagi cukup banyak adanya pengertian-pengertian yang tersirat.
Selain itu beberapa konsep masih dalam status diperdebatkan di kalangan statistisi sendiri. Dengan perkataan lain masih dalam status kontroversial. Sebaliknya, tidak sedikit dari pengguna statistika bersikap dogmatis dan memegang teguh beberapa mitos terhadap statistika tanpa penghayatan kritis.
Untuk beberapa dari kekurangan tadi dapat diberikan pembenarannya. Usia ilmu statistika masih muda dan sementara itu ada demikian banyak dan beranekanya bidang ilmu-pengetahuan dan teknologi yang menerapkannya. Suatu situasi yang berbeda dengan pada penerapan ilmu-ilmu tua seperti matematika, fisika, kimia dan biologi.
Kesukaran dan kebingungan banyak juga yang bersumber dari dalam diri pengguna sendiri. Misalnya dari rendahnya kadar penguasaan mereka terhadap masalah dan konsep-konsep dari bidang ilmu-pengetahuannya sendiri dan adanya pandangan bahwa statistika ialah suatu ilmu eksak.
Terhadap semua hal itu tampaknya diperlukan paradigma baru dalam pembelajaran statistika maupun dalam praktik perstatistikan untuk menggantikan cara-cara konvensional yang ternyata kurang efektif dan efisien itu.
Bahwa untuk mempelajari statistika secara mendalam atau mengembangkannya sebagai suatu ilmu tidak dapat disangkal diperlukan adanya dukungan penguasaan terhadap beberapa cabang matematika. Tetapi statistika bukan matematika. Statistika menerima bahwa di antara hal-hal pasti di dunia fana ini ialah ketakpastian itu sendiri. Statistika mempelajari adanya keteraturan-keteraturan, yaitu struktur dalam suatu sistem yang terbangun untuk suatu gugus data yang mengandung unsur ketak-pastian.
Seni statistika mencakup demikian banyak pertimbangan dan keakrabannya dengan proses penemuan dan inquiry ilmiah (Weldon, 1995). Dalam statistika, teori terdiri atas gagasan besar yang membantu kita berkali-kali untuk memilah keluar dari kerumitan yang terdapat dalam penafsiran data empiris sebagai akibat hadirnya keragaman tidak terhindarkan yang tak-terjelaskan. Yaitu, dari pengaruh galat-galat sistematis yang menimbulkan bias maupun galat-galat acak yang dapat mengaburkan dan mengurangi efisiensi inferens.
Beberapa gagasan statistika paling baik bila diuraikan secara matematis. Tetapi tidak sedikit di antaranya dapat dijelaskan tanpa menggunakan matematika secara intensif. Situasi seperti ini sebenarnya juga dihadapi oleh beberapa bidang ilmu-pengetahuan dan teknologi yang memandang dan menerima matematika sebagai suatu sarana berguna dan berdaya. Kebolehan suatu teori dalam statistika tidak dinilai dari gemerlap bobot sofistifikasi matematika yang digunakan.
Tidak berlebihan jika ada statistisi profesional yang menuntut bahwa statistika dapat dipandang sebagai suatu metode penelitian juga. Pernyataan tersebut tentu tidak dimaksudkan sebagai suatu "klaim" bahwa statistika adalah satu-satunya metode penelitian yang diperlukan. Tidak ada yang perlu dipertentangkan antara metode statistika dengan sembarang metode penelitian khusus untuk suatu bidang ilmu bukan statistika, pengetahuan dan teknologi. Adanya kekhususan metode penelitian dalam suatu bidang ilmu-pengetahuan bukan statistika timbul karena tuntutan keperluan nyata, misalnya dari karakteristik bahan penelitian, peubah-peubah konsep dan pengukuran atau penilaian atribut-atribut suatu objek untuk suatu peubah (variable).
Statistika sebagai suatu alat dapat diperankan dalam nyaris semua langkah kegiatan penelitian. Pernyataan ini membantah pandangan dari tidak sedikit pengguna statistika yang menyangka statistika baru diperlukan pada tahap pengolahan data.
Penelitian empiris akan berhubungan dengan data nyata yang belum tersedia atau sudah tersedia. Data yang didapat dari kegiatan pengumpulan data tentu diharapkan yang bermutu tinggi. Yaitu, data mutakhir yang didapat dengan cara yang sah, terandalkan, seksama dan teliti serta mencukupi rincian sesuai keperluan. Statistika ingin berhadapan dengan data bermutu tinggi, baik untuk peubah-peubah penelitian yang ‘kualitatif’ mau pun ‘kuantitatif’ untuk dianalisis secara ‘kuantitatif’. Dalam statistika berlaku pandangan "garbage in garbage out" (GIGO) yang dapat menghasilkan “low output”.
Seperti halnya dengan metode ilmiah yang bekerja dengan data empiris, statistika tidak dapat bekerja dengan peubah
yang atribut-atributnya tidak dapat diukur atau dinilai. Dengan data dari peubah-peubah terukur ada teknik statistika yang mampu membangkitkan peubah konseptual atau peubah konstruk. Atau sebaliknya, untuk suatu peubah terukur dapat diberikan faktor-faktor konseptualnya. Apakah metode penelitian kualitatif bekerja dengan peubah-peubah tidak dapat diukur atau dinilai?
Ada tiga golonganBold orang masing-masing dengan sikap berbeda dalam memandang penggunaan metode kuantitatif khususnya statistika untuk penelitian. Golongan pertama ialah yang a priori menolak penggunaan statistika sebagai suatu alat dalam penelitian di bidangnya. Mereka ‘alergi’ sekali terhadap statistika dan menuntut bahwa yang diperlukan untuk suatu penelitian dalam bidangnya ialah pendekatan dengan metode kualitatif
.
Catatan
Tetapi, simak misalnya M. B. Miles & A. M. Huberman (1994). 2-nd ed. Qualitative Data Analysis. SAGE Pub., London.
Golongan kedua ialah mereka yang mempercayai statistika secara dogmatis, kurang menggunakan akal sehat dalam menafsirkan hasil analisis data dan mekanistis dalam menarik simpulan dari suatu ‘keputusan’ statistis. Kurang membahasnya untuk mendapatkan tafsiran kembali dalam bahasa bidang ilmunya sendiri sebelum menarik simpulan-simpulan yang bermakna. Mereka tadi menerapkan statistika secara ritual.
Buku kami boleh jadi masih berguna untuk golongan kedua tadi dalam usaha mengubah pandangan atau sikap tadi terhadap statistika. Termasuk dalam golongan ini ialah mereka yang menganut pandangan:

“Statistika hanyalah suatu alat belaka untuk penelitian dalam bidang ilmu kita. Peran terpenting statistika ialah pada langkah pengolahan data. Oleh karena itu, jangan ‘alat’ tersebut menjadi tujuan yang menentukan komponen-komponen lainnya dari penelitian”

tanpa mengetahui lebih dalam bagaimana sebaiknya menerapkan statistika dalam memecahkan suatu masalah praktis.
Golongan ketiga ialah mereka yang ingin menggunakan statistika sebagai suatu alat untuk penelitian dalam suatu bidang ilmu bukan statistika lebih efektif, efisien dan terpadu. Mereka merasa perlu mengetahui bagaimana menggunakan statistika secara benar dan baik sebagai suatu alat untuk penelitian dalam bidang ilmunya.
Dengan sadar atau tidak tersadari tidak sedikit pengguna statistika terjerumus kepada berbuat keliru dari salah-guna atau menyalah-gunakan statistika. Yang disebut terakhir tentu tidak etis karena sudah termasuk berdusta dengan statistika. Kendati ini mungkin dianggap perlu oleh pengguna.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar